Sistem Sastra
Menurut Pratt Sinter untuk berhasil membaca karya
sastra , memahami, dan menafsirkannya orang harus siap mental dan tahu tentang
konvensi yang dimiliki karya sastra. Konvensi adalah aturan sosial, sesuatu
yang disetujui/disepakati masyarakat.
Diantara konvensi-konvensi di bidang sastra yang harus diketahui adalah sistem sastra. Sistem sastra merupakan
asas, prinsip, dan norma-norma sastra yang sudah tersusun secara teratur yang
harus disepakati. Walaupun karya sastra merupakan satu bangunan atau struktur
yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan, secara universal tidak mungkin
lepas sepenuhnya dari sistem sastra yang ada. Pada sisi lain, sistem sastra
sifatnya longgar. Hal ini disebabkan karya sastra merupakan karya individual.
Adapun sistem sastra yang patut diketahui agar dapat
melakukan penafsiran dalam rangka memproduksi makna menurut Fananie ( 2000: 23 – 62 adalah:
konvensi bahasa, konvensi sastra,
dan aliran sastra. Selain tiga hal itu, Teeuw ( 1984:95-119) menambahkan konvensi budaya,
jenis sastra /genre, dan teks sastra sebagai sistem sastra. Sejalan dengan
Teeuw dan Fananie di atas, Pradopo (
2002: 47-63) menambahkan kerangka
kesejarahan: hubungan intertekstual sebagai salah satu sistem sastra yang perlu
mendapat perhatian apabila akan menafsirkan karya sastra dengan kerangka
semiotik., Keseluruhan sistem sastra itu sebagaimana diuraikan berikut ini.
2.1 Konvensi
bahasa
Karya sastra adalah karya seni yang
mediumnya sudah bersifat tanda yang mempunyai
arti, yaitu bahasa. Tanda kebahasaan itu adalah bunyi yang dipergunakan sebagai
simbol, yaitu tanda yang hubungannya dengan artinya itu bersifat arbitrer
atau semaumaunya. Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi
masyarakatnya. Para pemakai bahasa tunduk kepada sistem konvensi
bahasa itu, seperti konvensi tata bahasa dan konvensiartinya. Para
sastrawan sebagai pemakai bahasa
untuk karya sastranya tunduk kepada sistem konvensi bahasa yang dipergunakannya
( Teeuw,
1984:96). Jadi, bahasa dalam karya sastra sesuai dengan sistem konvensi
bahasa yang dipergunakan. Hal ini disebabkan,
seperti dikemukakan Teeuw (1984:96), bahasa sebagai sistem tanda menyediakan perlengkapan konseptual bagi dasar
pemahaman dunia nyata dan sekaligus merupakan
dasar komunikasi antaranggota masyarakatnya. Oleh karena itu, pembaca karya sastra dalam memproduksi makna juga tunduk
kepada sistem bahasa yang caper digunakan pertama kali,pembaca atau
kritikus dalam memproduksi makna kata-kata, trase, atau kalimat dalam sastra itu harus memperhatikan
sistem bahasa yang dipergunakan itu.
Dengan demikian, ia akan mendapatkan ketepatan arti teks sastra tersebut.
Seringkali sastrawan mempergunakan
bahasa yang tampaknya menyimpang dari penggunaan
bahasa yang umum. Akan tetapi, sesungguhnya sastrawan dalam mempergunakan
bahasa itu masih dalam ruang lingkup konvensi bahasa yang dipergunakan. Bila
tidak demikian, bahasanya tidak komunikatif, berarti makna karya sastranya
tidak dapat diproduksi berdasarkan sistem konvensi bahasa
yang dipergunakan. Dalam arti, ia tetap tidak menyimpang sama
sekali dari sistem konvensi bahasa yang dipergunakan. Hal ini seperti
dikemukakan Teeuw (1984:97) bahwa sistem kemaknaan sebuah bahasa cukup
lincah, luwes, dan longgar sehingga memberikan segala kemungkinan kepada sastrawan
untuk secara dan orisinal memanfaatkannya
2.2 Konvensi
sastra
Di samping tunduk kepada konvensi bahasanya, sastrawan
juga terikat oleh konvensi sastra yang
dipergunakan. Dengan adanya sistem konvensi sastra di samping konvensi
bahasa, maka ada konvensi tambahan (Preminger, 1974:980, 981), yaitu konvensi tambahan kepada konvensi bahasa. Dengan
demikian, konvensi bahasa ini ditingkatkan
kepada konvensi yang lebih tinggi kedudukannya, yaitu konvensi sastra. Di sini arti (meaning) ditingkatkan kepada
makna (significance). Pertentangan antara arti dan makna merupakan prinsip semiotik sastra yang terpenting
(Riffaterre via Teeuw, 1984:99).
Dengan begitu, dalam memproduksi makna di samping harus memperhatikan sistem
konvensi bahasa yang dipergunakan, pembaca juga harus memperhatikan sistem konvensi sastra.Jadi, arti
bahasa (meaning) dalam karya sastra tidak semata-mata sama-dengan sistem bahasa, tetapi mendapat
arti tambahan yang merupakan makna
sastra (significance) berdasarkan tempat dan fungsinya dalam struktur
sastranya; maknanya ditentukan fungsinya dalam struktur.
Meskipun
demikian, sastrawan pun belum tentu memenuhi konvensi-konvensi sastra itu seratus persen. Hal ini disebabkan oleh
prinsip kreativitas sastra dan hakikat sastra itu sendiri, yaitu selalu dalam ketegangan antara konvensi
dengan penemuan (invensi, inovasi)
(Teeuw,1984:101,102); Karena itu, sastra selalu berada dalam ketegangan antara aturan
dan kebebasan, mimesis dan tiruan dan ciptaan, antara
Horatius (dengan art poeticanya yang normatif) dan Longinus (dengan pengagungan daya
kreatif), antara technique dan talent, limit dan license, antara
convention dan invention. (Levin, 1950: 65). Karya sastra itu di satu pihak terikat
kepada konvensi, tetapi di lain pihak, juga ada kelonggaran dan kebebasan dalam
mempermainkan konvensi tersebut. Penyimpangan itu biasa disebut defamiliarisasi
atau deotomasisasi (Teuuw dalam Pradopo
2002:48).
Penyimpangan konvensi tersebut memang sangat dirasakan
apabila pembaca mempunyai latar belakang pada konvensi yang sudah ada.
Karenanya penyimpangan konvensi seperti dikatakan Teeuw, baru dan hanya mungkin
efektif atas dasar adanya kon vensi yang disimpangi (Teuuw,1984:102). Dengan
kata lain, penyimpangan tersebut akan memberikan satu makna apabila mampu
memberikan sesuatu berdasarkan tatanan yang ditimbulkan. Walaupun pengarang
sastra modern banyak melakukan penyimpangan dari konvensi yang telah ada,
kenyataannya mereka tidak dapat melepaskan diri secara total akan konvensi
sastra. Adapun bentuk dan perwujudan karya sastra mereka, konvensi sastra
selalu tercermin di dalamnya.
Secara general konvensi sastra
dapat dilihat melalui penanda-penanda yang terdapat pada karya sastra. Menurut
Fananie (2000:44-46) ada sembilan
penanda konvensi sastra itu. Singkatnya
adalah sebagai berikut:
1)
Bahasa yang dipakai selalu bersifat estetis, puitis, menyentuh rasa dengan
pendar keindahannya.
2)
Karya sastra bersifat imajinatif/ fiktif, yaitu suatu cerita
rekaan yang berangkat dari daya khayal kreatif.
3)
Bahasa sastra bersifat konotatif dan multiinterpretable.
4)
Bahasa sastra bersifat simbolis, asosiatif, sugestif, dan
konotatif.
5)
Bahasa sastra bersifat sublime dan etis.
6)
Karya sastra tertentu merupakan suatu
katarsis, yaitu suatu upaya bersih
diri dari lengketan debu-debu dan lepotan lumpur dan kehidupan dunia.
7)
Tokoh-tokoh dalam novel, roman,
repertoar, scenario, balada, dilukiskan dalam karakter, pribadi, dan
pencandraan diri yang kuat dan meyakinkan.
8)
Setting, dilukiskan dengan cermat
dan hidup, sedang plotnya begitu memikat.
9)
Puisi-puisi konvensional ditata dalam
larik-larik dan bait-bait yang didalamnya terdapat aliterasi, asonansi, irama,
persajakan, enjambemen, korespondensi, dan nuansa puitik
Konvensi-konvensi sastra yang bersifat general
tersebut secara rici dapat digolongkan menjadin tiga katagori yang
masing-masing katagori mempunyai spesifikasi tersendiri. Kategori tersebut
meliputi:
Watch NBA All-Star DeJourd vs. Steph Curry vs. Steph Curry - VECTR
BalasHapusStream NBA All-Star DeJourd vs. youtube to mp4 Steph Curry on VECTR, the best source for videos related to NBA All-Star DeJourd vs. Steph Curry,